URGENSI PENDIDIKAN GENERASI PELANJUT

oleh -1118 Dilihat
oleh

Pada dasarnya bukan hanya anak-anak kita yang butuh pendidikan untuk masa depan mereka, tapi kita sebagai orang tualah yang berkepentingan besar untuk memberi mereka pendidikan yang layak bagi tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik pada masa yang akan datang. Pendidikan dimaksud tentu berawal dari pendidikan oleh kita sebagai kedua orang tua di rumah maupun di lembaga pendidikan tempat kita menitip mereka belajar. Generasi inilah yang kita harapkan bisa merealisasikan misi diutusnya Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam, yakni memenangkan Islam diatas agama-agama/ ajaran-ajaran/ isme-isme lainnya di dunia ini (QS. Ash Shaff [61]:9). 

Bisa dikata, bahwa memberi anak-anak kita pendidikan yang benar dan baik adalah bentuk tanggung jawab kita yang nyata bagi mereka dan agama ini pada masa yang akan datang. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab, yang amat gampang diingat.

Sayangnya, sejak lama sistem pendidikan di negeri ini terbukti belum bisa menjadi wasilah bagi lahirnya generasi Islam yang mumpuni, baik karena kurikulumnya yang buruk maupun masa belajar yang terlalu lama, sehingga usia produktif banyak dihabiskan dibangku sekolah. Bahkan, setelah tamat pun banyak diantara mereka tidak memiliki skill  yang memadai hatta untuk membiayai hidupnya sendiri, alih-alih untuk orang lain. Akhirnya mereka tiada punya pilihan selain memperpanjang antrian menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS/ ASN), tak sedikit bahkan menjadi pengangguran yang berimbas bagi bertumpuknya problem sosial.

Ustadz Budi Azhari, Alumni Fakultas Hadist dan Dirosah Islamiyyah di Universitas Islam Madinah, Pakar Parenting Nabawiyah pernah mengemukakan pernyataan penting, “Silakan hitung berapa lama kita menghabiskan usia sejak Taman Kanak-kanak (TK) sampai kuliah? Apa yang sudah kita dapat dalam rentang waktu tersebut?.” Menurutnya rentang sekolah sampai usia 22 tahun bukan untuk kepentingan pendidikan, namun hanya untuk menyalurkan gejolak. Karena remaja dipersepsikan penuh dengan masalah, maka dibuatlah berbagai lembaga dan kegiatan untuk menyalurkan gejolak dan energi mereka ke arah yang positif. “Sehingga sampai usia kuliah begitu banyak mempelajari hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan yang berujung pada kemubadziran,” katanya. Beliaupun merekomendasikan “Tanyakan pada diri apakah kurikulum itu bermanfaat untuk dunia dan akhirat? Jika tidak tinggalkan saja.” 

Sementara itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud) Anies Baswedan, pernah meminta kepada guru di sekolah agar tidak membimbing siswanya untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Kita tidak tahu di masa depan, bisa jadi tenaga PNS akan dikurangi akibat kemajuan teknologi yang menyebabkan tenaga manusia bisa saja diganti dengan hasil teknologi,” ujarnya. Untuk itu mantan menteri yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta tersebut meminta “Bimbinglah siswa-siswa kita menjadi seorang entrepreneurship bukan PNS, sehingga mereka memiliki modal berharga di masa depan,”

KONSEP DASAR PENDIDIKAN KHILAFATUL MUSLIMIN.

Sebelum semua konsep mutakhir dari banyak pakar pada dekade terkhir, Khilafatul Muslimin telah mempraktekannya secara mandiri. Konsep dasar yang dianut adalah sebagai berikut: 

1. Pendidikan dibutuhkan guna meningkatkan kwalitas kemanusiaan dan kemampuan di segala bidang kehidupan.

2. Pendidikan adalah hak ummat yang harus disediakan gratis berikut segala fasilitas pendukung dan  para tenaga pengajar yang terdiri dari mereka yang berilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing, tanpa mengharapkan bayaran dari si penuntutnya karena sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang ditanya tentang ilmu pengetahuan lalu merahasiakannya maka ia dikekang pada hari kiamat dengan kekakangan api neraka. (HR. Ahmad dan Hakim), lembagalah kekhalifahanlah yang harus memberi para pengajar insenstif yang layak bagi kehidupan mereka.

3. Pendidikan Islam wajib mengupayakan terciptanya ilmuwan-¬ilmuwan yang mampu mempraktekkan ilmunya, bukan ilmuwan yang hanya pandai menceritakan ilmu. 

4. Pendidikan Islam secara terarah bergerak ke lapangan kerja dan menghasilkan karya berharga dan bermanfaat bagi kesejahteraan hidup ummat. 

5. Pendidikan Islam, wajib melakukan penelitian secara intensif terhadap obyek-obyek yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk diupayakan perwujudannya dalam kehidupan nyata, seperti; ayat tentang Unta (QS. Al Ghaasiyat [88], ayat 17), ayat tentang besi (QS. Al-Hadid 25), dan lain-lain.

Yang demikian itu, karena konsepsi Islam menuntut pembuktian nyata dalam kehidupan, bukan hanya penghafalan. Tertinggalnya ummat Islam dari ummat-ummat lain terutama disebabkan karena mereka berlomba-lomba dalam menghafal dan mendalami penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan Al¬ Hadits tanpa pembuktiannya dalam kehidupan. (Buku; “Gambaran Global Pemerintahan Islam”, tulisan Khalifah/ Amirul Mu’minin, Al Ustadz Abdul Qadir Hasan Baraja, Cetakan Pertama Tahun 2001, Kedua Tahun 2004, Penerbit RAP, hal. 48-55)

APLIKASI SISTEM PENDIDIKAN DI KHILAFATUL MUSLIMIN.

Untuk itu, dalam kurikulum pendidikan Khilafatul Muslimin saat ini, selain dididik dengan aqidah yang suci, amal yang shaleh dan akhlak yang mulia, para peserta didik juga diarahkan untuk mandiri dan berjiwa entrepreneur lewat integrasi  ilmu ad-din dan skill yang mereka butuhkan dalam menunjang kehidupan. Mereka tidak diarahkan untuk menjadi PNS atau pegawai lainnya bahkan dari kurikulumnya kemungkinan ke arah itu telah terputus. Selain itu, masa tempuh pada setiap jenjang pendidikan betul-betul dipangkas. Untuk jenjang TK yang disebut Unit Madrosah Ali bin Abi Thalib (UMKABAT) berlangsung satu tahun, dengan beberapa catatan penting, seperti; pelajaran yang harus bersifat menggembirakan dengan memanfaatkan usia bermain secara maksimal, jauh dari amarah para pengajar, karenanya pengajar pun diutamakan dari kalangan wanita, yang dianggap memiliki sifat lembut dan penyayang. Selanjutnya, jenjang sekolah dasar dipangkas hingga 3 tahun, yang disebut dengan Unit Madrosah Khalifah Utsman bin Affan (UMKUBA), jenjang  SMP pun hanya 2 tahun demikian juga dengan jenjang SMA, masing-masing disebut Unit Madrosah Khalifah Umar bin Khathab (UMUBK) dan Abu Bakar Ash Shiddiq (UMKABA). 

Pemangkasan ini menjadi mungkin karena upaya selektif dalam memilih mata pelajaran yang bermanfaat dan membuang mata pelajaran “sampah” dari memori anak-anak. Selain itu, pemangkasan waktu dijenjang SD (UMKUBA) misalnya juga didasarkan pada kajian target dan kemampuan capaian siswa dalam belajar. Jika target sekolah dasar misalnya; bisa membaca, menulis dan menguasai dasar berhitung, maka waktu 6 tahun terlalu lama untuk ukuran anak-anak sekarang. Terlebih dengan banyaknya media dan alat bantu belajar yang bisa digunakan oleh para pengajar dan anak-anak, demikian juga dengan tingkat menengahnya. Teori ini kemudian secara bertahap berhasil dibuktikan di banyak lembaga pendidikan Khilafatul Muslimin, yakni Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI). Dari pemangkasan masa belajar, maka jenjang pendidikan dasar dan menengah  di Khilafatul Muslimin praktis hanya berlangsung 7 tahun saja, yakni 3 tahun SD (UMKUBA), 2 tahun SMP (UMUBK) dan 2 tahun SMA (UMKABA) dengan usia tamatan sekitar 14 tahun. Setelah itu mereka akan melanjutkan ke Al Jaami’ah, sebagai lembaga pendidikan tinggi di Khilafatul Muslimin selama 2 tahun dengan beberapa persyaratan penting yang harus dipenuhi. 

Dengan demikian, pada usia 15-16 tahun diharapkan generasi muda Khilafatul Muslimin sudah bisa beramal shalih di masyarakat dengan modal ilmu ad diin dan skill yang mereka dapatkan selama masa pendidikan. Pertimbangan yang sangat urgen dalam hal ini adalah tibanya usia taklif (menanggung beban ibadah), dimana seorang muslim setelah baligh berkewajiban melaksanakan ibadah, mempraktekkan ilmu, mencari nafkah buat diri dan keluarga yang akan dibangunnya kelak serta ikut memberi sumbangsih bagi perjuangan meninggikan kalimah Allah. Selanjutnya, kita telah pahami bahwa; kewajiban menuntut ilmu tidak pernah putus atas setiap pribadi Muslimin hingga ajal menjemput. Maka, tamat Al Jaamiah bukan berarti tamat belajar.  

Mari kita perbaiki niat kita dan membenahi motivasi kita dalam mendidik serta menyekolahkan anak-anak kita, apakah semata untuk meraih kepentingan duniawi atau untuk kepentingan Islam? Semoga kita tidak salah memilihkan mereka sekolah. Aamiin! (AMS)