MATA UANG KITA SAMA-SAMA RUPIAH, TINGGAL BAGAIMANA MENGELOLANYA

oleh -984 Dilihat
oleh

Oleh: Ahmad MS.

Atas izin Allah di mana-mana Khilafatul Muslimin berhasil mewujudkan sarana pendidikan berupa bangunan sekolah atau pondok pesantren yang menjadi penunjang proses transformasi ilmu antara guru dan para santri. Semua ini bukan karena melimpahnya anggaran, tapi karena maksimalnya penggunaan dana sesuai dengan amanah ummat dan tentu saja sesuai program pembangunan yang telah direncanakan.

Mulai Taliwang Sumbawa Barat, Bima, Makassar, Papua, Bekasi, Purwakarta, Sukabumi, Bandar Lampung, Muko-muko, hingga Aceh terlaksana pembangunan fisik dari swadaya warga jamaah dan simpatisan, tanpa mengandalkan bantuan pemerintah. Banyak pihak menitipkan amanah finansial sebagai tanggung jawab sosialnya dan pihak pengelola memanfaatkannya dengan penuh tanggung jawab, proses yang benar, laporan yang jelas, terang dan transparan serta bisa dipertanggungjawabkan.

Sifat amanah menjadi dasar dari semua keberhasilan pembangunan fisik yang mengandalkan sumbangsih ummat. Bukti fisik dari semua proses yang bisa dilihat juga menjadi penentu kepercayaan berkelanjutan. Sehingga ummat akan terus terpelihara istiqomahnya atas trust-nya sama pihak pengelola.

Berhentinya andil finansial, tidak bisa dituduhkan sebagai kurangnya keikhlasan, karena bisa jadi kepercayaan mereka lah yang sudah berkurang atau hilang sama sekali. Inilah yang dievaluasi oleh pengelola, bukan mencari kambing hitam.

Amanah finansial atas lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat sosial tak dipungkiri merupakan ujian dan godaan tersendiri bagi pengelola, “siapa sih yang tidak hijau matanya lihat uang?”, begitulah ungkapan yang sering kita dengar di masyarakat. Ungkapan tersebut menjadi tantangan untuk dijawab dengan bukti.

Pada dasarnya masyarakat tak membutuhkan data terlalu detail untuk mempercayai atau tidak mempercayai pengelola, cukup dengan bukti fisik yang dihadirkan berbanding lurus dengan antusiasme donatur dan lamanya waktu berjalan. Seberapa banyak bukti fisik yang telah ada setelah sekian lama berdirinya sebuah lembaga yang dikelola? seberapa tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan lembaga yang datang belakangan?

Selain itu ummat juga menilai perubahan gaya hidup hingga kepemilikan properti pribadi pengelola, darimana sumber penghasilannya? bagaimana dia mencukupi kebutuhannya? pasca amanah finansial ummat berada di tangannya. Semua akan menjadi pertanyaan ummat sebelum berbicara laporan tertulis yang dibuat secara lengkap dan detail.

Dalam Islam menyumbang kepada lembaga atau sosok yang sering menyelewengkan anggaran akan menjadi andil dalam melestarikan penyelewengannya. Alih-alih mendapat pahala malah menjadi dosa, sehingga lebih baik ‘putus hubungan dengan nyamuk’ daripada darah ummat terus disedot untuk kepentingan kelompok atau pribadi dan keluarga tertentu. Wallahu a’lam! (AMS).